ANALISIS PILKADA DKI JAKARTA
Pemilihan
kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk
daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah
dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Di
Indonesia , saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala
daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah Kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup:
1. Gubernur
dan wakil gubernur untuk provinsi
2. Bupati
dan wakil bupati untuk kabupaten
3. Wali
kota dan wakil wali kota untuk kota
Untuk
pertama kalinya Indonesia akan menggelar hajat demokrasi lokal lima tahunan
sekali secara bersamaan di penghujung tahun 2015.Pemilihan gubernur, bupati dan
wali kota secara serentak, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015, wajib
diselenggarakan pada Desember 2015 untuk daerah yang masa jabatan kepala
daerahnya berakhir mulai Januari 2015 hingga Juni 2016.Kemunculan wacana untuk
menggelar pilkada serentak pertama kali dimaksudkan untuk menciptakan
efektivitas, khususnya dari segi finansial dan waktu. Dalam UU tersebut
dijelaskan pelaksanaan pemungutan suara pilkada dilakukan serentak untuk
beberapa daerah selama enam gelombang, yakni tahun 2015, 2017, 2018, 2020,
2022, 2023, sebelum akhirnya pilkada serentak secara nasional bersamaan digelar
pada 2027. Selama ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah berlangsung
berserakan. Dalam satu bulan, sebuah daerah bisa menggelar tiga kali
pelaksanaan pilkada, yakni pemilihan gubernur, pemilihan bupati dan pemilihan
wali kota. Oleh karena itu, Pemerintah bersama dengan DPR berupaya untuk
membuat sebuah sistem pilkada yang efektif dan efisien yakni dengan
menyelenggarakan pilkada serentak. Namun, sisa waktu yang singkat sejak UU
tersebut disahkan hingga ketentuan waktu pelaksanaannya menyebabkan pihak
terkait, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum,
"pontang-panting" dalam mempersiapkan regulasinya. Terkait persiapan
peraturan tentang pilkada, KPU pun baru menyelesaikan kewajibannya dalam
menyusun peraturan tersebut di saat tahapan pilkada sudah dimulai.
Rangkaian
pelaksanaan pilkada serentak dimulai pada 17 April lalu yang ditandai dengan
tahapan pembentukan panitia penyelenggara adhoc di tingkat kelurahan dan
kecamatan, yakni Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK).
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta
pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi
yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
Tata
cara pengisian formulir penghitungan suara di TPS Pilkada Serentak 2015 dimulai
dengan mengisi formulir oleh Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS). Di
antaranya formulir model C-KWK, C1-KWK, C1-KWK lampiran, dan lainnya. KPPS
wajib mengisi waktu pemungutan suara. Kemudian tempat pencoblosan, serta jumlah
pemilih terdaftar sesuai DPT. Selanjutnya, pemilih dikategorikan menjadi
pemilih perempuan dan laki-laki. Pemilih pindahan juga wajib diisi dalam
formulir tersebut.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Daniel Zuchron mengatakan relawan para calon Gubernur DKI Jakarta pada
pemilihan kepala daerah 2017 harus terdaftar sebagai tim kampanye. Menurut
Daniel, hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. "Termasuk
masa kampanye, pelaksana kampanye, dan lain sebagainya. Subyek hukumnya jelas
di situ. Aturan tersebut berlaku saat tahapan pilkada sudah dimulai. Hari ini
kan tahapan pemilihan umum belum ada, sehingga belum ada peserta
pemilunya," ujar Daniel saat dihubungi, Rabu, 27 April 2016. Jika sudah
memasuki tahapan pemilu, menurut Daniel, tim kampanye juga diwajibkan
menyerahkan rekening khusus dana kampanye. Hal itu tercantum dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye. "Ketika
ditetapkan sebagai calon, dia harus mengumumkan saldo dan lain halnya di dalam
itu," katanya. Senada dengan Daniel, Komisioner KPU Ferry Kurnia juga
mengatakan bakal pasangan calon harus melaporkan saldo awal dana kampanyenya
ketika mendaftar. Mereka juga diwajibkan menyerahkan laporan awal, laporan
penerimaan, serta laporan pengeluaran dana kampanye. "Nanti diaudit oleh
kantor akuntan publik independen," ujarnya.
Menurut
Daniel, sumbangan yang diberikan masyarakat bagi calon-calon kepala daerah
harus tercatat dan dilaporkan kepada KPU apabila sudah memasuki tahapan pemilu.
"Aktivitas yang terkait dengan kegiatan-kegiatan kampanye kan ada. Bahkan
penggalian dukungan, pendanaan, juga masuk dalam pendanaan kampanye,"
katanya.
Daniel
berharap, para relawan harus pandai mengelola aktivitas politiknya agar tidak
sampai melabrak rambu-rambu pilkada. "Ketika ada penipuan, penggunaan
fasilitas negara, berlaku hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang ada," ujarnya.Bawaslu, kata Daniel, akan siap memproses masyarakat
yang merasa dirugikan kemudian melaporkan adanya pelanggaran salah satu
pasangan calon. "Kami akan periksa apakah ada pelanggaran hukum. Jika ada,
kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait," katanya.
Gubernur
DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, dan
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil alias Emil. Nama tiga tokoh publik ini berkibar
lantaran gebrakan-gebrakannya, yang kadang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Cyrus Network, lembaga survei, membuat sebuah penelitian apabila Ahok, Risma,
dan Ridwan bertarung dalam ajang pemilihan kepala daerah Jakarta 2017.
Siapa
yang dipilih publik?Managing Director Cyrus Network Eko Dafid Afianto
mengungkapkan hasil survei lembaganya. Ketika Ahok dihadapkan dengan Emil, 42
persen responden memilih mendukung Ahok, sementara Emil yang mendapat dukungan
38 persen. Hasilnya tak jauh beda bila Ahok dibandingkan dengan Risma. Mantan
Bupati Belitung Timur itu menmperoleh dukungan 42 persen, sedangkan Risma
didukung 37 persen responden."Jika Ahok ingin melanjutkan kepemimpinannya
untuk periode berikutnya, dia harus bisa segera memperbaiki kinerjanya,"
ujar Afid--sapaan Dafid Afianto--di D’Consulate, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta
Pusat, Kamis, 7 Mei 2015.Afid menjelaskan, berdasarkan hasil survei opini
lembaganya, 20,7 persen responden menyatakan tidak puas dengan pembangunan
jalan di Ibu Kota. Sedangkan 23,1 persen responden menyatakan tak puas dengan
cara Ahok mengelola fasilitas Transjakarta. Afid menambahkan, kinerja Ahok
dalam hal pembangunan jalan dan pelayanan fasilitas bus Transjakarta menjadi
sorotan masyarakat.
Namun
Ahok dianggap unggul dalam program pengerukan dan normalisasi saluran air.
Berdasarkan data lembaganya, ucap Afid, 48,9 persen responden merasa puas
dengan kinerja Ahok di sektor itu. Selain itu, Ahok mendapat apresiasi dari
responden karena melakukan perubahan dalam hal pengurusan dokumen kependudukan
dan perizinan di kelurahan dan kecamatan. "Hampir 52,3 persen responden
menyatakan puas dengan kinerja Ahok dalam merombak masalah kependudukan dan
perizinan," tuturnya.Peneliti dari Peneliti Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), Philips J. Vermonte, mengatakan kepuasan atas
perbaikan masalah perizinan karena Ahok dinilai fokus memperbaiki kinerja
bawahannya. "Ahok lebih fokus pada kinerja birokrat, dan dia hantam
birokrat yang tak beres," ucapnya.Namun, dalam program tata kota, nilai
Ahok kurang. Philips berujar, jika mencalonkan diri dalam pemilihan Gubernur
DKI 2017, Risma bakal menjadi pesaing utama Ahok. "Risma memiliki
keunggulan dalam tata kelola kota," katanya.Adapun Cyrus Network
menyelenggarakan survei opini publik ini pada 23-27 April 2015. Jumlah
responden dalam survei tersebut sebanyak seribu dengan proporsi responden
laki-laki dan perempuan sebesar 50 : 50 persen. Metode survei yang dipakai
ialah wawancara atau tatap muka, dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen
dan tingkat kesalahan sekitar 3,1 persen.Pengamat Politik, Rahmat Soleh menilai
Pilkada DKI Jakarta masih terhitung lama, namun sudah banyak bakal calon
gubernur yang bermunculan mendeklarasikan diri untuk maju bertarung menuju DKI
1. Ia berpesan dalam hal ini perlu di telaah lebih dalam bahwa dalam
pertarungan Pilkada IBU KOTA selalu menyajikan pertarungan yang menarik namun
dari sekian bakal calon perlu dianalisis lebih dalam tentang siapa yang akan
memiliki action opportunity untuk benar-benar maju dan mendapat dukungan warga
Jakarta.Untuk mengetahui action opportunity, kita dapat melihatnya dari dua
hal.
Pertama,
melihat hasil perolehan suara partai politik di DKI Jakarta saat Pemilu
Legislatif 2014,Kedua Figur Candidate yang mendapatkan dukungan dari rakyat
Jakarta.
Rahmat
menjelaskan, Kalo kita lihat yang mendapatkan suara terbanyak di Jakarta pada
Pileg 2014, PDIP, Gerindra, PKS. Sedangkan suara Golkar dan Demokrat yang
mendapatkan suara signifikan di tingkat nasional namun tidak sukses mendapatkan
suara di ibu kota.Berikut gambaran perolehan suara partai politik di DKI
Jakarta pada Pemilu 2014;
Ø PDI-P
27,67%, Gerindra 14,17%, PKS 9,34%, PPP 8,96%, Golkar 8,45%, Hanura 7,39%,
Demokrat 7,31%,Nasdem 5,23%, PKB 5,46%, PAN 3,81%, PKPI 1,42% PBB 0,78%.
“Dari
perolehan suara tersebut, kita dapat memetakan secara kasar partai mana saja
yang memiliki action opportunity untuk memajukan calonnya.”ujar Rahmat di
jakarta, kamis(17/03/2016).
Sambung
Rahmat, Kemungkinan besar, PDIP, Gerindra, dan PKS akan memajukan tokohnya
masing-masing dalam Pilkada kali ini. Ketiga partai ini berani memajukan calon
di karenakan memiliki suara yang cukup besar dan tokoh yang layak di majukan.
Sementara,
posisi tiga besar ke bawah yang kemungkinan besar akan memajukan calonnya
adalah Golkar dan Demorkat. Karena kedua partai ini juga memiliki tokoh yang
cukup untuk dimajukan menjadi gubernur. Partai yang tersisa akan sulit
memajukan calon di karenakan suara yang tidak signifikan dan tidak memiliki
tokoh kuat untuk dimajukan.Ia menjelaskan, Jika kita lihat data-data di atas
dalam waktu sekarang, secara kasar kita dapat mempetakan koalisi yang akan
terbentuk menjelang Pilkada DKI Jakarta mendatang. Berikut table pemetaan
koalisi menjelang pilkada mendatang atau terjadi pilkada hari ini:
·
Koalisi 1: PDIP, Nasdem, Hanura, PKPI
·
Koalisi 2: PKS, Gerindra, PPP, PKB, PAN,
PBB
·
Koalisi 3: Golkar, Demokrat
Akan
terjadi pembelahan ideologi dalam koalisi ini, yakni nasionalis di koalisi 1
dan 3, dan Islam plus satu nasionalis di koalisi 2. Pembelahan ideologi ini
juga akan menciptakan party ID dan menjadi hal penting untuk mendapatkan
dukungan kultural dari masing-masing konsituen.(ID)
Pengamat
politik dari Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bisa menang dalam Pilgub DKI Jakarta tahun
2017 mendatang tanpa partai atau jalur independen."Semua orang berpotensi
memilih lagi Agok," ujar Ray di kantor PARA Cyndicate, Jakarta Selatan,
Rabu (29/7/2015).Ray mengatakan alasan publik DKI memilih kembali Ahok lantaran
reputasi kinerja yang tergolong bersih, juga popularitas yang baik.Melihat
kondisi tersebut, Ray menilai agak sulit jika partai politik hanya mengusung
calon Gubernur DKI tanpa persiapan yang matang."Artinya kalau partai tidak
siapkan figur kuat lawan Ahok, enggak bisa itu. Partai harus pastikan ada
persaingan yang fair dalam suatu pemilu. Itu juga bagian tugas partai,"
ucap Ray.
DAFTAR PUSTAKA :